Welcome di Mentari Sago, kumpulan artikel pendidikan dan sastra baik berupa cerpen, puisi dan lain-lain

Minggu, 12 Oktober 2025

Suara Puisi: Bait Kepenyairan Dalam Sosial Media





Bagaimana nasib puisi bagi masyarakat dan penyair itu sendiri pada jaman yang makin sulit dituruti? Masihkah puisi sebagai satu kata sakral, atau sekedar curhatan murah untuk mereka yang mengendap emosinya terlalu dalam? Apakah puisi masih tetap jadi tabu untuk masyarakat yang masih terkekang isu Kesetaraan Gender?


Era ini adalah hari dimana Puisi hadir dalam ambang antara ada dan tidak. Puisi bukan lagi suara indah dan kebaikan, puisi sekarang dipaksakan menjadi simbol anarkisme dan ketakutan di wajah masyarakat akibat kerusuhan dan petinggi negara tidak lagi berpihak pada rakyat. Imbas dari kerusuhan yang berakhir penyitaan buku-buku literasi yang dicap golongan kiri.


Media Sosial sebagai Rumah Akhir


Menanggapi hiruk pikuk seperti ini, para penyair berbondong-bondong beralih menyambung kepenyairannya di media sosial sebagai upaya semangat kebangkitan dan perjuangan bagi puisi itu sendiri. Bukan hanya itu, komunitas-komunitas sastra perlahan-lahan memanfaatkan “keajaiban” sosial media untuk tetap bebas berliterasi.


Salah satu bentuk perjuangan Puisi adalah rubrik “Suara Puisi”, sebuah upaya salah satu Komunitas Puisi yang berpusat di Pekanbaru, Community Pena Terbang, untuk terus menghidupkan makna puisi sebagai wujud kebaikan dan ekspresi untuk macam ragam usia. Sebuah perjuangan literasi di antara hiruk pikuk politik dan kesemrawutan publik untuk tetap terikat dengan Tuhan dan Bahasa Ibu.


Memanfaatkan media sosial Instagram, rubrik ini memberi ruang masyarakat menyuarakan tulisan dan ekspresi tersimpan ke publik, sebagai bukti eksistensi, serta kepedulian untuk memelihara literasi negeri. Baik pria atau wanita, anak sekolah hingga lansia sekalipun. Suara Puisi adalah satu dari jutaan upaya kecil pejuang literasi untuk tetap melestarikan Puisi dan mengeluarkannya dari Stigma buruk yang tengah dia alami.


Bersuara Bersama Puisi



Kini, rakyat indonesia menghadapi ketakutan akan suara yang dibungkam. Sedikit saja menyentil golongan atas, pulang hanya tinggal nama. Tapi perlawanan dan aspirasi bukan hanya dalam bentuk tindakan, puisi juga adalah jalan bagi perjuangan dan kekuatan.

gambar by gemini



Puisi adalah penyatu suara dalam kata-kata dan kiasan. Tanpa harus menyindir tegas, puisi bisa menjadi media tenang namun menohok untuk menyampaikan suara masyarakat yang harus terhalang ego dan butanya elit global.

Tapi sekarang, tinggal rakyat Indonesia, yang harus memilih apakah tetap bungkam dan menyaksikan rumah pertiwi mereka hancur perlahan-lahan dalam kerakusan, atau mulai melawan dan bersuara dalam rima serta sajak, demi keadilan khalayak ramai. (*)


ditulis Oleh: Eko Ragil Ar-Rahman

Peserta lokakarya Menulis Artikel dari Komunitas Rumah Baca Mentari Sago sebagai Fasilitasi Penerima Bantuan Pemerintah untuk Komunitas Literasi tahun 2025

0 komentar:

Posting Komentar