Pekanbaru- Suatu pagi di sebuah rumah di kota besar, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Mama, apa artinya cenning1?” Sang ibu hanya terdiam. Kata itu berasal dari bahasa ibu mereka, bahasa yang seharusnya hidup di rumah dan menempel dalam ingatan. Tapi kini kata itu asing, bahkan bagi sang ibu sendiri.
Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Bahasa daerah, yang mestinya menjadi akar identitas, satu per satu hilang dalam ingatan. Di sisi lain, bahasa Indonesia—bahasa yang dulu kita perjuangkan sebagai pemersatu bangsa—perlahan bergeser posisinya. Di ruang publik, bahasa asing dipuja, dipakai sebagai simbol status, seolah bahasa sendiri tak lagi cukup berharga.
Pertanyaannya: mau kita bawa ke mana bahasa-bahasa kita ini? Apakah kita akan membiarkan bahasa daerah mati di tanahnya sendiri, sementara bahasa Indonesia tergeser di rumahnya sendiri?
Bahasa Daerah yang Nyaris Hilang, Bahasa Indonesia yang Kehilangan Martabat.
Bahasa daerah bukan hanya bunyi. Ia adalah sejarah, ia adalah jejak yang mencatat perjalanan manusia dan budaya. Di dalamnya tersimpan doa-doa, petuah, bahkan cara kita memahami dunia.
Namun, hari ini banyak anak-anak tak lagi bisa berbahasa ibu. Mereka lebih fasih berbahasa asing, bahkan lebih percaya diri mengucapkan “sorry” ketimbang “maaf” atau “ampun.” UNESCO mencatat puluhan bahasa daerah di Indonesia kini berada di ambang kepunahan. Data dari Kemendikbudristek dalam rentang tahun 2011 hingga 2019 sendiri menunjukkan dari 718 bahasa daerah di Indonesia terdapat 25 terancam punah, 6 dinyatakan kritis, dan 11 bahasa daerah telah punah. Penyebab utama kepunahan disebabkan penutur aslinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan ke generasi berikutnya.
Apakah kita sadar, kehilangan bahasa berarti kehilangan bagian dari diri kita? Apakah kita rela jika suatu saat nanti nama-nama tempat, kisah rakyat, bahkan doa-doa lama hanya tinggal catatan di buku sejarah?
Sementara bahasa Indonesia harus kita pahami ianya lahir dari tekad, bukan sekadar kebetulan. Ia dipilih dengan sadar pada Sumpah Pemuda 1928: bahasa persatuan, bahasa kebangsaan, bahasa perjuangan. Lewat bahasa Indonesia, kita menegakkan suara bersama melawan penjajah.
Tapi hari ini di sekitar kita. Nama pusat perbelanjaan, sekolah, bahkan gedung-gedung pemerintahan lebih sering berbahasa asing. Di dunia akademik, menulis dalam bahasa Indonesia dianggap kurang bergengsi. Di media sosial, banyak yang lebih bangga menulis caption dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa nasional.
Bukankah ironis? Bahasa yang dulu kita junjung sebagai lambang persatuan kini dianggap tidak cukup layak di negerinya sendiri. Padahal, tanpa bahasa Indonesia, bagaimana kita bisa berdiri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain?
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tentu kita tidak bisa hanya meratap. Ada langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan.
Pertama, mulai dari rumah. Gunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Jangan malu, jangan merasa kuno. Justru dari rumah bahasa bisa hidup kembali.
Kedua, sekolah harus ikut berperan. Anak-anak harus belajar bahasa daerah bukan hanya lewat buku teks, tapi juga melalui lagu, cerita rakyat, bahkan permainan tradisional. Biarkan bahasa ibu hadir dengan cara yang menyenangkan.
Ketiga, media dan teknologi. Mari hadirkan bahasa daerah dalam film, musik, buku, hingga konten digital. Biarkan anak muda mengenal dan menggunakannya di dunia yang mereka akrabi: media sosial.
Keempat, pemerintah tak boleh abai. Regulasi, dokumentasi, dan penghargaan harus diberikan bagi pegiat bahasa. Jangan biarkan bahasa hanya jadi jargon di peringatan Hari Sumpah Pemuda atau Bulan Bahasa.
Dan terakhir, banggakan bahasa Indonesia. Pakai bahasa ini dengan percaya diri di ruang publik, di media sosial, di panggung dunia.
Menjaga Bahasa, Menjaga Diri, Menjaga Bangsa
Sebagian orang khawatir, jika bahasa daerah diperkuat, bahasa Indonesia akan tersaingi. Itu kekeliruan besar. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia bukan musuh, melainkan saudara.
Bahasa daerah adalah akar. Bahasa Indonesia adalah batang. Bahasa asing adalah cabang yang memperluas jangkauan. Akar yang rapuh akan membuat batang mudah tumbang. Begitu pula bahasa Indonesia: tanpa fondasi bahasa daerah, ia akan kehilangan pijakan.
Dengan menjaga bahasa daerah, kita justru sedang memperkuat bahasa Indonesia. Dengan menegakkan kedaulatan bahasa Indonesia, kita sedang melindungi bahasa daerah agar tidak tergerus oleh bahasa asing.
Bahasa adalah rumah. Ia tempat kita berpulang, tempat kita mengenali diri. Tanpa bahasa daerah, kita hanyalah bangsa tanpa akar. Tanpa bahasa Indonesia, kita hanyalah kumpulan suku tanpa persatuan.
Revitalisasi bahasa daerah dan kedaulatan bahasa Indonesia bukan pilihan antara dua, melainkan kewajiban bersama. Kita bisa menguasai bahasa asing, tapi jangan sampai kehilangan bahasa sendiri.
Pada akhirnya, pertanyaan itu kembali pada kita: siapa yang akan menjaga bahasa-bahasa ini kalau bukan kita sendiri? Jika kita membiarkannya hilang, maka kita sedang menutup pintu rumah kita sendiri, membiarkan kunci identitas kita jatuh entah ke mana. Bahasa menunjukkan bangsa. Jika bahasa itu hilang, maka bangsa itu pun akan ikut hilang.
Catatan :
Manis dalam Bahasa Bugis







0 komentar:
Posting Komentar