Welcome di Mentari Sago, kumpulan artikel pendidikan dan sastra baik berupa cerpen, puisi dan lain-lain

Menulislah, dengan itu engkau akan meninggalkan jejak jejak sejarah

Tulisan ketika dibaca dan membawa perubahan padanya, akan bermakna besar akhirnya.

Bermimpilah

Jangan biarkan ucapan orang lain menjatuhkan mimpimu. Bungkam mulut mereka dengan prestasimu.

Pendidikan itu mengubah perilaku

Jangan pernah berhenti belajar, karena hidup tak pernah berhenti mengajarkan.

You don’t have to be great to start. But you have to start to be great.

Kamu tidak harus hebat untuk memulai. Tapi Anda harus mulai menjadi hebat.

Manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi banyak orang

Kebaikan sekecil apapun akan mernakna besar bagi yang merasakannya.

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 November 2025

Lapak Baca Gratis Suatu Upaya Menumbuhkan Minat Baca Anak


C:\Users\hp\Downloads\WhatsApp Image 2025-09-28 at 12.13.57.jpeg

(Dokumentasi Rumah Baca EHJ)


Efry Husin Juani- Budaya literasi merupakan hal yang penting dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, hingga pada akhirnya nanti akan membentuk bangsa yang unggul dan berkualitas. Melalui kegiatan berliterasi, seseorang telah mempunyai bekal untuk menghadapi tantangan yang ada pada saat ini maupun tantangan yang akan datang di masa depan. Sebab, kegiatan berliterasi juga akan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dalam membaca situasi dan peluang yang ada, sehingga seseorang akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan kedepannya (Zainal Abidin, 2020).

Lapak Baca Gratis adalah salah satu inisiatif yang sangat positif untuk menumbuhkan minat baca, terutama di kalangan anak-anak. Konsep ini terlihat sederhana namun cukup efektif karena menyediakan area atau ruang khusus di suatu tempat, di mana anak-anak dapat membaca buku secara gratis. Lapak Baca Gratis memiliki berbagai tujuan yang sejalan dengan Gerakan Literasi Nasional yang telah diinisiasi pada tahun 2015.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pedoman Penilaian dan Evaluasi Gerakan Literasi Nasional (2017) menyebutkan bhawa Gerakan Literasi Nasional merupakan sebuah usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan pemahaman, pengetahuan,dan keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21 melalui keterlibatan dan partisipasi seluruh warga negara Indonesia. Gerakan Literasi Nasional mengembangkan enam jenis literasi yang dibutuhkan untuk hidup pada abad ke-21. Keenam jenis literasi itu adalah literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi kewargaan. 

Lapak Baca Gratis yang diselenggarakan oleh Rumah EHJ di Desa Sungai Putih telah menunjukkan dampak positif dalam meningkatkan minat baca anak-anak di beberapa lokasi, salah satunya adalah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Modern Desa Sungai Putih. MI Modern sendiri memang belum memiliki ruang perpustakaaan khusus karena masih terfokus pada pembangunan gedung sekolah secara bertahap, saat ada kunjungan Lapak Baca Gratis, anak-anak MI Modern sangat antusias untuk memilih berbagai macam buku yang telah disediakan. Ini membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, Lapak Baca Gratis dapat menjadi alat efektif untuk mempromosikan literasi di kalangan anak-anak.  

Tulisan karya peserta lokakarya Menulsi Artikel yang diselenggarakan Rumah Baca Mentari sago

Mari Kita Hakimi Perayap Besi di Pekanbaru



kalau cerdik tidak beriman, 
lambat laun menjadi setan
kalau pandai tidak beradat, 
lambat laun hidup kan sesat
kalau berilmu tidak bertakwa, 
banyaklah kerja tidak berfaedah
kalau berilmu tidak beragama,
 banyaklah kerja tidak semenggah.

Sejatinya, bagi siapa pun yang berpijak di bumi Lancang Kuning, pedoman hidupnya tak lain adalah Tunjuk Ajar Melayu. Budayawan terkenal di Riau. Namun dirasa sangat tepat sekali Tunjuk Ajar diatas menggambarkan kemirisan pada kota ini, iya kota Pekanbaru. Mari kita kilas balik apakah kalian masih ingat, berita yang ditulis RiauPos pada awal Februari 2025 bahwa besi-besi Tugu Zapin di pusat kota Pekanbaru kembali hilang? Lalu ada juga tiga hari yang lalu cakaplah.com menginformasikan berita buruk seharusnya ini tidak terjadi, media cakaplah.com menulis dengan berjudul “Diduga Digondol Rayap Besi, RPPJ di Jalan Sudirman Pekanbaru Hilang”. Penggondolan Rambu Pendahuluan Petunjuk Jurusan hilang digondol manusia yang pikirannya disetir oleh kelaparan perut hingga melalukan hal yang tercela. Ada pula lagi-lagi saya paparkan dari media Cakaplah.com menuliskan dengan judul “Marak Pencurian Besi Fasilitas Umum, DPRD Pekanbaru : Ada Kelalian”. Miris sekali tidak Sumber Daya Manusia kita?

Tetapi apakah benar hanya masalah pencurian saja, ataukah cermin yang memantulkan rapuhnya kualitas manusia kita? Tugu yang mestinya dijaga, fasilitas umum yang pada dasarnya milik bersama justru  malah tercecer, dipreteli oleh tangan yang haus pada rongsok, oleh pikiran yang  jauh pada sentuhan cahaya pendidikan. Fasilitas Umum habis di Rayap oleh mereka yang sedang kehausan dan kelaparan bukan?. Mana yang lebih penting menurut kalian cara menangani masalah diatas? Apakah dengan memberi pagar yang lebih tinggi pada sekeliling Tugu Zapin tersebut? Atau Memperbaiki pembangunan semakin megah atau kita sepakti saja yang perlu diperbaiki yaitu Sumber Daya Manusia yang lebih bermatabat.

Dok. Riaumandiri.com


Kejadian hilangnya besi-besi Tugu Zapin, Fasilitas Umum bukan sekedar lambang  kota Pekanbaru, bukan hanya masalah kerugian proyek saja, tetapi kita perlu menyadari bahwa kejadian ini mencerminkan rendahnya moral dan akhlak manusia kita, solusi dari masalah ini semua bukan hanya pembangunan Tugu Zapin, Fasilitas Umum yang diperbaiki lebih indah, lebih megah agar kota terlihat lebih bermarwah, tetapi kita perlu memperbesar investansi dalam pembangunan sumber daya manusia untuk menciptakan manusia yang penuh rasa tanggung jawab menjaga warisan, lambang budaya agar tetap bermarwah.

Perlu kita kilas balik ingatan kita dengan hal yang selalu kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, anak-anak yang berada pada lampu merah disetiap pusat kota mencoba menyapu debu pada mobil-mobil mewah yang tak pernah mereka tumpangi, anak-anak yang tumbuh berkembang bersamaan dengan gitar kecilnya dan lagu-lagu yang sering ia dendangkan, anak-anak yang tumbuh dari asap jualan pinggir jalan bercampur dengan doa ibu yang menahan letih setiap harinya, bahkan anak-anak yang tak mengerti alfabet karena beberapa kali mencoba menulis di udara namun huruf-huruf itu terbang tak kemabali pulang, bukan mereka tak ingin sekolah tetapi ekonomi yang tidak mencukupi.

Maka jawaban untuk keresahan dan cara untuk memperbaiki Sumber Daya Manusia yang bermartabat itu bermula dari langkah sederhana menghadirkan pendidikan gratis bagi anak-anak yang tak pernah merasakan bangku sekolah sama sekali. Kenapa perlu Pendidikan untuk memperbaiki Sumber Daya Manusia? karena menurut Ki Hajar Dewantara “Pendidikan itu hanya suatu 'tuntunan' di dalam tumbuhnya anak- anak kita. Anak-anak itu sebagai makhluk hidup, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu”

Kutipan ini menegaskan bahwa tugas pendidikan bukanlah memaksa atau mengekang anak, melainkan menuntun dan mengarahkan potensi alami yang sudah ada dalam dirinya sejak dini, sehingga tumbuh menjadi pribadi merdeka, berbudi, dan bermanfaat bagi lingkungannya.

Seperti yang diberitakan melalui tulisan Riau Pos pada 10 Agustus 2025, tercatat 1.470 anak putus sekolah telah resmi terdaftar melalui Posyandu di setiap kelurahan untuk mengikuti program pendidikan gratis. Angka tersebut menjadi sebuah harapan, namun masih ada anak-anak lain yang perlu kita rangkul dengan Pendidikan, mereka yang sejak lahir yang tidak pernah disentuh pendidikan tetepi tidak itu saja penyentuhan literasi atau mengumpulkan anak-anak jalanan untuk membaca, karena pada dasarnya buku adalah jendela ilmu. 

Selain itu perlu ketahui Pendidikan bukan tentang buku dan bangku lalu menghasilkan SDM yang berkualitas, Perlu diketahui untuk menghasilkan SDM yang berkualitas yang akan memberi kontribusi untuk kota yang maju yaitu memerlukan guru yang berkualitas. Pendidikan gratis dan kesejahteraan guru harus bersanding bersamaan, guru harus mendapatkan penghargaan, karena tanpa guru maka mungkinkah lahirnya generasi yang berkualitas? Namun guru kita, yang berdiri di depan kelas dituntun sabar dengan menanggung beban ekonomi karena penghargaan atau gaji  tak mencukupi kehidupannya. Lalu apakah mungkin guru dapat melahirkan generasi yang tumbuh bermartabat, berkualitas dengan menahan beban ekonomi yang guru rasakan? perlu sekali mensejahterakanlah guru dengan gaji yang layak, pelatihan yang berkelanjutan, tempat yang nyaman agar kualitas murid lahir dari kualitas pengajar. Hakimi perayap besi dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. 

Peristiwa kehilangnya material Tugu Zapin dan fasilitas umum membuat kita untuk membuka pikiran dan mata bahwasanya pembangunan kota yang maju bukan hanya melalui pembangunan fisik namun juga persoalan batin. Gedung tak masalah menjulang tinggi, namun peningkatan manusia yang berbudi pekerti harus lebih tinggi.

Pendidikan gratis, mensejahteraan kan guru dan penghayatan Tunjuk Ajar Melayu harus bersanding karena menuju kota maju dan bermarwah memerlukan manusia yang mulia maka lahirlah kota yang beradab, berbudaya, beradat, warisan melayu tetap terjaga. 


Tulisan ini hasil Lokakarya Menulis Artikel yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Mentari Sago.

Menjadi Guru Bahagia

 


Nur Hikmah - Zaman sekolah dulu, pernahkah Anda merasa tidak menyukai sebuah pelajaran?Atau awalnya Anda tidak menyukai sebuah pelajaran karena gurunya, namun begitu gurunya ganti, Anda menjadi suka bahkan sangat suka dengan pelajaran itu? 

Mungkin banyak di antara kita yang mengalami kasus seperti ini, termasuk saya. Nah, sebagai seorang pendidik tentunya kita mau menjadi guru yang disenangi dan dirindukan oleh siswa kita bukan?

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjadi guru bahagia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Semua orang dari segala umur, jenis kelamin bahkan kelas sosial yang berbeda berburu mencari yang namanya ‘bahagia’, termasuk seorang guru.

Menjadi guru bukan sekadar profesi, tetapi sebuah panggilan jiwa. Setiap hari, guru berhadapan dengan beragam karakter siswa, tuntutan administrasi, hingga ekspektasi orang tua. Semua itu terkadang bisa membuat lelah, bahkan membuat sebagian guru bertanya, “Apakah saya masih bahagia menjalani profesi ini?”


Mengapa Guru Harus Bahagia?

Kebahagiaan guru sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran dan tumbuh kembang siswa. Guru yang bahagia akan lebih sabar, kreatif, dan tulus dalam mendidik. Sebaliknya, guru yang merasa tertekan sering kali sulit memancarkan energi positif di kelas.. Ada juga pepatah yang mengatakan hanya orang bahagia yang dapat membahagiakan orang lain. Jika dikaitkan dengan profesi guru tentunya hanya guru yang bahagia yang dapat membahagiakan muridnya sehingga sekolah akan terasa sebagai sekolah yang membahagiakan, bukan sebaliknya.

Yakin dan percayalah, seorang guru yang selalu bahagia, para siswa akan semangat menyambut kehadirannya dengan bahagia. Alhasil ilmu yang diberikan dalam suasana bahagia dan ceria Insya Allah akan melekat di pikiran dan jiwa mereka. Lalu bagaimana menjadi guru bahagia? Berikut penulis akan membagikan beberapa tips:

  1. Bersyukur dan ikhlas

Ada narasi indah yang pernah pernah saya baca, “jangan menunggu bahagia dulu, baru bersyukur. Bersyukurlah maka Engkau akan bahagia.  Sumber kebahagian seorang guru adalah bersyukur.  Jalani profesi mulia ini dengan ikhlas tanpa merasa terbebani.

  1. Menemukan Makna di Balik Profesi

Guru bahagia adalah guru yang menyadari bahwa setiap interaksi dengan murid adalah investasi jangka panjang. Senyuman tulus seorang siswa, keberanian mereka menjawab pertanyaan, hingga doa yang keluar dari bibir polos anak-anak, adalah hadiah terbesar yang tidak ternilai dengan materi.

  1. Membangun Lingkungan Positif

Guru bahagia tidak berjalan sendiri. Mereka membangun jejaring dengan rekan sejawat, saling menguatkan, berbagi pengalaman, dan tertawa bersama. Dukungan komunitas menjadi energi besar dalam menghadapi tantangan pendidikan.

  1. Megelola Ekspektasi

Tidak semua siswa akan langsung paham materi yang diajarkan, tidak semua orang tua akan sepakat dengan cara mendidik kita. Guru bahagia belajar menerima keterbatasan diri dan siswanya. Mereka fokus pada proses, bukan sekadar hasil.

  1. Menjaga Keseimbangan Hidup

Kebahagiaan guru juga datang dari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Meluangkan waktu untuk keluarga, hobi, dan istirahat yang cukup adalah bentuk self-care yang akan membuat guru kembali bersemangat menghadapi kelas keesokan harinya.



Nurhikmah, Tulisan ini karya Peserta Lokakarya Menulis artikel yang diselenggarakan Rumah Baca Mentari Sago.

Literasi Digital untuk Ibu Rumah Tangga

 


Nola Nelfia - Ditengah kemajuan perkembangan teknologi saat ini, kemampuan menggunakan teknologi dan peralatan digital tidak hanya menjadi fokus bagi kalangan kantoran,remaja atau bahkan orang penting diluar sana, namun juga berlaku bagi ibu rumah tangga. Pergeseran teknologi di kalangan ibu rumah tangga dari sebatas radio dan televisi, sekarang sudah digantikan oleh android atau smartphone.



Penggunaan android atau smartphone dikalangan ibu rumah tangga saat ini sudah menjadi pemandangan yang biasa. Namun jika dilihat dari segi pemanfaatannya masih sangat terbatas tentang dunia maya ataupun bersosialisasi dan komunikasi antar teman melalui platform media sosial Literasi digital tidak hanya terbatas tentang kemampuan teknik dalam menggunakan suatu perangkat, namun bagaimana mengkolaborasikan kemampuan dalam memahami, memilah, dan menggunakan informasi secara bijak. Secara umum dilingkungan ibu rumah tangga terutama dengan baground pendidikan rendah dan ibu rumah tangga yang memasuki usia senja, literasi digital masih sangat terbatas. Banyak dari kalangan ibu rumah tangga yang masih kesulitan dalam menggunakan teknologi terkhusus android atau smartphone.

Kenapa ibu rumah tangga harus melek literasi digital?

Peran ibu dalam keluarga salah satunya adalah tempat untuk bertanya dan mendapatkan informasi, ibu rumah tangga dituntut tidak hanya cakap dalam mengurus rumah tangga, tetapi juga memiliki kemampuan literasi digital yang baik. Kemampuan ini penting agar ibu rumah tangga dapat mencari informasi yang relevan, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga parenting dalam keluarga. Dengan literasi digital, ibu rumah tangga juga dapat belajar banak hal tanpa harus keluar rumah dan tentunya lebih efektif dan efisien. Melek digital bukan hanya kebutuhan, tetapi juga bekal penting untuk mendampingi dan membimbing anak untuk mendapatkan sumber informasi yang tepat dan aman.

Bagaimana pemanfaatan literasi digital di rumah tangga?

Salah satu pemanfaatan literasi digital yakni dengan mengajarkan anak dalam penggunaan teknologi yang aman dan bertanggung jawab. Saat ini tidak jarang tugas sekolah yang memanfaatkan teknologi digital sebagai sumber rujukan. Jika seorang ibu rumah tangga memiliki kemampuan literasi yang bagus, akan membuka peluang dalam mencari materi pembelajaran yang edukatif untuk anak-anak.

Dengan memanfaatkan sumber daya digital, ibu rumah tangga dapat membantu anak-anak belajar dengan cara yang menarik dan menyenagkan. Pemanfaatan literasi digital yang optimal juga akan menciptakan lingkungan keluarga yang inofatif dan membantu meningkatkan kesadaran dalam penggunaan teknologi digital.

Bagaimana ibu rumah tangga memilih dan memilih informasi digital?

Kemampuan literasi yang baik dapat membantu ibu rumah tangga untuk memilah dan memilih informasi yang valid. Tidak jarang akibat kurangnya literasi para ibu rumah tangga sering kali mendapatkan informasi hoax bahkan menimbulkan kerugian untuk diri sendiri bahkan orang lain.

Derasnya arus informasi digital, ibu rumah tangga memegang peran strategis sebagai penyaring utama berbagai informasi yang masuk ke dalam lingkup keluarga. Namun, tantangan muncul ketika rendahnya literasi digital menyebabkan banyak dari mereka kesulitan membedakan antara fakta dan hoak. Sering kali, informasi yang dikemas secara emosional atau berasal dari lingkungan sosial yang dekat diterima mentah-mentah tanpa verifikasi. Padahal, keputusan yang mereka ambil baik terkait kesehatan, pendidikan anak, hingga gaya hidup sangat bergantung pada akurasi informasi yang dikonsumsi. Oleh karena itu, penting bagi ibu rumah tangga untuk mengembangkan nalar kritis dan kebiasaan memeriksa kebenaran informasi, sekaligus didukung oleh edukasi literasi digital yang kontekstual dan mudah diakses. Tanpa kemampuan ini, ibu rumah tangga berisiko menjadi sasaran disinformasi yang dampaknya bisa merambat luas dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Menempatkan ibu rumah tangga sebagai bagian penting dalam literasi digital bukan lagi suatu hal

sederhana, mereka sebenarnya punya pengaruh besar dalam membentuk pola pikir dan sikap anggota keluarga terhadap informasi. Ketika ibu-ibu dibekali kemampuan untuk berpikir kritis, memilah sumber informasi yang valid, dan tidak mudah terpapar oleh informasi yang menyesatkan. Literasi digital bukan soal melek teknologi semata, tapi soal keberanian untuk bertanya, memverifikasi, dan tidak asal percaya. Karena pada akhirnya, ibu rumah tangga yang melek informasi adalah fondasi bagi keluarga yang tangguh di tengah derasnya arus digital yang tak selalu membawa kebenaran.


Nola Nelfia- Peserta Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago

Bagaimana Literasi Bahagia?

 


  Salmi - Gerakan literasi  Riau akhir-akhir ini sangat  dianjurkan khususnya  di Pekanbaru, gerakan ini Alhamdulillah sangat disambut baik oleh pemerhati  literasi yang ada di Riau , khususnya para pendidik, forum-forum dan komunitas literasi. Hal ini di perkuat oleh Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti  merupakan  dasar hukum utama untuk Gerakan Literasi Nasional (GLN).  


Mengapa pemerintah mengeluarkan permen tentang literasi?   hal ini  tentu ada pemicunya. Perkembangan Teknologi  selain punya pengaruh positif tapi juga punya dampaknya . Salah satunya dampak kemajuan teknologi  kita lihat perilaku dan pemahaman anak-anak sekolah dirasa sangat kurang  dalam membaca  dan aktifatas literasi sangat minim, akibatnya sangat berpengaruh pada perilaku anak didik di sekolah-sekolah. Banyak para guru mengeluhkankan perilaku anak-anak yang menyimpang, susah diatur, malas belajar , malas membaca,  Pembullyan daya ingat menurun, hasil pembelajaran berkurang dan malas beraktifas sesuai dengan usianya. Begitu juga orang tua banyak yang mengeluh perilaku anak-anak mereka, banyak yang nggak mau nurut dan melawan sama orang tua, perilaku emosi  berlebihan dan bayak lainnya, bahkan  ada juga  teman guru yang melaporkan  di sekolahnya ada perilaku yang menyimpang yang tidak semestinya dilakukan seorang pelajar, ini sangat memprihatinkan kita semua.

Bagaimana Literasi Bahagia?

  Tempat saya mengajar  di sebuah sekolah swasta, juga mempunyai masalah yang tak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang lain, dirasa sekali penurunan pada perilaku , masih banyak anak yang tinggal sholat, masih ada yang membully , hasil belajar dan literasi anak-anak juga menurun . Di rapat KKG guru selalu dibahas permasalahan anak, begitu juga pertemuan  orang tua setiap semester juga selalu dibahas perilaku anak dan bagaimana memperbaikinya  . Bagaimana  emosi , ucapan, bully-an  tidak menjadi perilaku yang biasa bagi  anak-anak, tetapi  dianjurkan melakukan pembiasaan-pembiasaan yang baik setiap hari, dibuatlah  program-program dalam mendukung gerakan literasi.

Para guru harus RAKER (Rapat Kerja) membuat program literasi bahagia untuk anak-anak. Dibuat tim-tim kerja yang serius  untuk merumuskan kegiatan apa saja yang dilakukan untuk mendukung kegiatan literasi  bahagia di sekolah.  Contoh program Literasi Bahagia :

  1. Program  5 S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan,Santun)

  2. Program Literasi Bahagia( belajar karakter selama 2 pekan ) dilaksanakan awal sekolah tentu di usahakan dengan program yang menyenangkan.

  3. Program aqidah momen  setiap hari 10 menit sebelum memulai pembelajaran

  4. Program Rohani Islam

  5. Program parenting dll.

Program literasi bahagia harus konsisten dilaksanakan, poin- poin di atas hanya beberapa contoh saja sebagai salah satu program Literasi , kalau tidak dilaksanakan, secara berkesinambungan dengan metode yang menyenangkan usaha kita akan sia-sia dan tidak ada hasilnya.  Semoga literasi di Riau semakin sukses kedepannya, menghasilkan generasi yang ditunggu- tunggu untuk menjadikan Riau lebih baik kedepannya.


Tulisan ini hasil karya peserta Lokakarya Menulis Artikel Bersama Rumah Baca Mentari Sago

Rabu, 29 Oktober 2025

Ketika Kata-Kata Kita Kehilangan Rumah




Pekanbaru- Suatu pagi di sebuah rumah di kota besar, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Mama, apa artinya cenning1?” Sang ibu hanya terdiam. Kata itu berasal dari bahasa ibu mereka, bahasa yang seharusnya hidup di rumah dan menempel dalam ingatan. Tapi kini kata itu asing, bahkan bagi sang ibu sendiri.



Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Bahasa daerah, yang mestinya menjadi akar identitas, satu per satu hilang dalam ingatan. Di sisi lain, bahasa Indonesia—bahasa yang dulu kita perjuangkan sebagai pemersatu bangsa—perlahan bergeser posisinya. Di ruang publik, bahasa asing dipuja, dipakai sebagai simbol status, seolah bahasa sendiri tak lagi cukup berharga.

Pertanyaannya: mau kita bawa ke mana bahasa-bahasa kita ini? Apakah kita akan membiarkan bahasa daerah mati di tanahnya sendiri, sementara bahasa Indonesia tergeser di rumahnya sendiri?


Bahasa Daerah yang Nyaris Hilang, Bahasa Indonesia yang Kehilangan Martabat.

Bahasa daerah bukan hanya bunyi. Ia adalah sejarah, ia adalah jejak yang mencatat perjalanan manusia dan budaya. Di dalamnya tersimpan doa-doa, petuah, bahkan cara kita memahami dunia.

Namun, hari ini banyak anak-anak tak lagi bisa berbahasa ibu. Mereka lebih fasih berbahasa asing, bahkan lebih percaya diri mengucapkan “sorry” ketimbang “maaf” atau “ampun.” UNESCO mencatat puluhan bahasa daerah di Indonesia kini berada di ambang kepunahan. Data dari Kemendikbudristek dalam rentang tahun 2011 hingga 2019 sendiri menunjukkan dari 718 bahasa daerah di Indonesia terdapat 25 terancam punah, 6 dinyatakan kritis, dan 11 bahasa daerah telah punah. Penyebab utama kepunahan disebabkan penutur aslinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan ke generasi berikutnya.

Apakah kita sadar, kehilangan bahasa berarti kehilangan bagian dari diri kita? Apakah kita rela jika suatu saat nanti nama-nama tempat, kisah rakyat, bahkan doa-doa lama hanya tinggal catatan di buku sejarah?

Sementara bahasa Indonesia harus kita pahami ianya lahir dari tekad, bukan sekadar kebetulan. Ia dipilih dengan sadar pada Sumpah Pemuda 1928: bahasa persatuan, bahasa kebangsaan, bahasa perjuangan. Lewat bahasa Indonesia, kita menegakkan suara bersama melawan penjajah.

Tapi hari ini di sekitar kita. Nama pusat perbelanjaan, sekolah, bahkan gedung-gedung pemerintahan lebih sering berbahasa asing. Di dunia akademik, menulis dalam bahasa Indonesia dianggap kurang bergengsi. Di media sosial, banyak yang lebih bangga menulis caption dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa nasional.

Bukankah ironis? Bahasa yang dulu kita junjung sebagai lambang persatuan kini dianggap tidak cukup layak di negerinya sendiri. Padahal, tanpa bahasa Indonesia, bagaimana kita bisa berdiri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain?


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tentu kita tidak bisa hanya meratap. Ada langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan.

Pertama, mulai dari rumah. Gunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Jangan malu, jangan merasa kuno. Justru dari rumah bahasa bisa hidup kembali. 

Kedua, sekolah harus ikut berperan. Anak-anak harus belajar bahasa daerah bukan hanya lewat buku teks, tapi juga melalui lagu, cerita rakyat, bahkan permainan tradisional. Biarkan bahasa ibu hadir dengan cara yang menyenangkan.

Ketiga, media dan teknologi. Mari hadirkan bahasa daerah dalam film, musik, buku, hingga konten digital. Biarkan anak muda mengenal dan menggunakannya di dunia yang mereka akrabi: media sosial.

Keempat, pemerintah tak boleh abai. Regulasi, dokumentasi, dan penghargaan harus diberikan bagi pegiat bahasa. Jangan biarkan bahasa hanya jadi jargon di peringatan Hari Sumpah Pemuda atau Bulan Bahasa.

Dan terakhir, banggakan bahasa Indonesia. Pakai bahasa ini dengan percaya diri di ruang publik, di media sosial, di panggung dunia.


Menjaga Bahasa, Menjaga Diri, Menjaga Bangsa


Sebagian orang khawatir, jika bahasa daerah diperkuat, bahasa Indonesia akan tersaingi. Itu kekeliruan besar. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia bukan musuh, melainkan saudara.

Bahasa daerah adalah akar. Bahasa Indonesia adalah batang. Bahasa asing adalah cabang yang memperluas jangkauan. Akar yang rapuh akan membuat batang mudah tumbang. Begitu pula bahasa Indonesia: tanpa fondasi bahasa daerah, ia akan kehilangan pijakan.

Dengan menjaga bahasa daerah, kita justru sedang memperkuat bahasa Indonesia. Dengan menegakkan kedaulatan bahasa Indonesia, kita sedang melindungi bahasa daerah agar tidak tergerus oleh bahasa asing.

Bahasa adalah rumah. Ia tempat kita berpulang, tempat kita mengenali diri. Tanpa bahasa daerah, kita hanyalah bangsa tanpa akar. Tanpa bahasa Indonesia, kita hanyalah kumpulan suku tanpa persatuan.

Revitalisasi bahasa daerah dan kedaulatan bahasa Indonesia bukan pilihan antara dua, melainkan kewajiban bersama. Kita bisa menguasai bahasa asing, tapi jangan sampai kehilangan bahasa sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan itu kembali pada kita: siapa yang akan menjaga bahasa-bahasa ini kalau bukan kita sendiri? Jika kita membiarkannya hilang, maka kita sedang menutup pintu rumah kita sendiri, membiarkan kunci identitas kita jatuh entah ke mana. Bahasa menunjukkan bangsa. Jika bahasa itu hilang, maka bangsa itu pun akan ikut hilang.



Catatan :

  1. Manis dalam Bahasa Bugis


ditulis oleh Daris Kandadestra, peserta Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago

Selasa, 28 Oktober 2025

AI tanpa Pondasi Literasi adalah Ilusi




- Beberapa tahun terakhir, AI (Artificial Intelligent) menjadi banyak perhatian. KBBI mendefinisikan AI sebagai ‘program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya. Dengan kecanggihan definisi tersebut, seolah AI bisa mengambil alih kemampuan manusia.






Di level pemerintahan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming bahkan mendorong sekolah-sekolah untuk membuat mata pelajaran AI masuk ke dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai SMA (Kompas.com, 03 Mei 2025). Ini setidaknya menggambarkan betapa AI bagi negara memiliki urgensi tinggi untuk dipelajari oleh semua orang. Tujuannya untuk membangun mimpi bagaimana AI membentuk SDM bangsa Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.


Pertanyaan kritis yang mungkin bisa diajukan dalam melihat masalah ini adalah, betulkah kita sudah siap sebagai bangsa untuk mengimplementasikan AI? Visi pemerintah mendorong agar AI dijadikan materi pelajaran sekolah adalah solusi yang sudah tepat?


Antara Kemajuan dan Realitas Kesiapan


Kemajuan AI adalah suatu yang tidak bisa dibendung, dan kita dituntut untuk bisa beradaptasi dengan teknologi ini. Sementara, di sisi lain ada realitas yang masih menjadi keprihatinan kita soal rendahnya kemampuan literasi di negara kita. 


Menjawab tantangan literasi selalu tidak mudah. Hal yang barangkali sudah sering kita dengar bahwa menurut data UNESCO, Indonesia berada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.


Sementara, ketika berbicara tentang AI, teknologi ini akan bekerja sesuai dengan perintah atau prompt pengguna. Oleh karenanya, kemampuan membuat prompt adalah hal yang paling krusial bagaimana seseorang akan mengoperasikan AI ini secara optimal atau hanya sekadar perintah tanpa isi.


Literasi adalah Pondasi



Kemampuan membuat prompt secara kreatif dan kritis hanya mutlak bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki basis literasi yang baik, terutama kebiasaan membaca dan menulis. Dua kegiatan tersebut adalah fondasi yang membangun kemampuan berpikir kritis, pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan komunikasi yang luas.


Membaca akan memperluas wawasan dan mengembangkan pemahaman. Sedangkan menulis akan membantu seseorang mengorganisir ide, mengkomunikasikan pemikiran secara efektif, dan memperkuat kemampuan berpikir analitis.


Oleh karena itu, pemerintah mustinya terus mendorong penguatan literasi sebagai budaya dan bagian dari keseharian kita. Keinginan pemerintah dalam mendorong pembelajaran AI tanpa diiringi dengan kemauan kuat memprioritaskan literasi, hanya akan menjadi ilusi dan angan-angan tanpa arti. 


Oleh: Izul Adib Peserta Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago

Kamis, 23 Oktober 2025

Membuncahkan “Duniaku”, Dengan Literasi Hati

 

Doried Eka Septayani











Dokumen pribadi



Bila akan dituliskan jatuh cinta namun, akan sakit kan bila ada kata jatuh. Kuawali dari bangun cinta literasi dari  masa studi di kampus hijau bagian paling utara pulau Andalas. Dengan  menjadi reporter pers kampus. Konon  Pers Kampus kebanggaan  ini dinobatkan bak seolah kita masuk dalam “ Kawah candradimuka”.  Dengan legenda cerita Gatot Kaca Sejak lahir dimasukkan pada kawah Candradimuka, kelak Ia menjadi manusia yang berotot kawat dan bertulang besi.

Bermula dari rutinitas reportase,  sampai observasi mendalam tentang masalah internal kampus, sampai hal kekinian Kota  bahkan provisi juga issu Nasional. Asyiknya, sengaja membangun cinta dengan kepenulisan ini, bukan hanya mensejajarkan posisiku sebagai jurnalis dengan narasumber. Namun membangun open mindset yang lebih luas dari sekedar status awal sebagai mahasiswa kala itu.

Seiring waktu dengan perubahan status dengan menjalani takdir menjadi istri. Kesukaan menulis terus terasah hingga, berkesempatan mengikuti workshop kepenulisan pada majalah Tarbawi saat  pernah tinggal di Ibu Kota Negara. Ketajaman literasi hati,  yang sangat menarik pada sajian majalah tersebut. Membawa inspirasi mendalam pada diri. 

Menggerakan gerak tuts pada keyboard, untuk menuliskan kisah-kisah hidup yang membangun jiwa dengan basic “true story”. Lahirlah beberapa puluhan buku, mulai antologi sampai menjelang buku solo dengan kemas literasi hati ini. Memberanikan diri mengemas acara perbincangan dengan trend digital “podcast” juga membawa tema yang  mengajak pemirsa  dengan tagline “bukan bincang biasa, sarat ilmu juga makna”. Dinamai Rumah Inspiration, acara live bincang tersebut.

Pena Pun semakin tajam, dengan merambah dunia siaran udara. Melalui kanal Radio Republik Indonesia, dengan rubrik “Obrolan Komunitas tema Literasi”  sudah menjadi agenda rutin untuk menuangkan serta menularkan gemar berliterasi dimulai dari peran kita sebagai apapun. Bisa dimulai dari memindahkan curhat lepas pada dinding media sosial. Kepenulisan yang lebih rapi dan terstruktur digawai dalam genggaman kita pada catatan. Hingga kelak bisa menjadi beberapa lembar menjadi karya antologi.

Semakin berwarnanya hidup, dengan bisa menghasilkan banyak karya. Serta terus berdedikasi dalam peran menulis, bukan hanya menjadi kastanya para akademisi atau saat menjadi mahasiswa saja. Namun hal ini, masih terus bersinergi sebagai apapun peran diriku, baik menjadi istri pegawai negeri (Darma Wanita), ibu empat anak, berwirausaha, trainer  serta menjadi anak Sulung. Adalah seperti aliran darah,  menuangkan hal-hal positif membangun jiwa dengan literasi hati. 

Yaitu, bukan hanya sekedar hal manis dan penuh tawa saja yang disajikan dalam paparan karya tulis. Karena hati yang hidup juga perlu “gerimis” untuk menumbuhkan tanaman dengan hujan lembut serta siraman air dari langit-Nya. berarti saat kisah sedih yang paling menyakitkan diri pun layak juga dituangkan. Bukan untuk mengeksploitasi kesedihan semata, namun lebih untuk terapi jiwa menyembuhkan diri dengan menuangkan karya.



Tulisan ini hasil pelatihan Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago 28 September 2025.


Rabu, 22 Oktober 2025

Oase Literasi di Riau Melalui Rumah Baca

 

Oleh: Wilda Srihastuty Handayani Piliang



Rumah Baca dan TBM Sebagai Pusat Literasi di Pekanbaru

Pekanbaru adalah kota yang sibuk dengan lalu lintas perdagangan dan hiruk pikuk teknologi. Namun, di sela-sela kesibukan itu, ada ruang sunyi yang penuh makna: rumah baca. Maria Montessori pernah mengatakan, “Buku adalah jendela dunia,” dan di Pekanbaru, rumah baca menjadi jendela yang selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat dunia lebih luas.

Rumah Baca Mentari Sago lahir dari semangat dua insan, Mulyati Umar dan Irsyad Thoriq Algifari. Mereka percaya bahwa literasi bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Di rumah baca ini, anak-anak dan orang dewasa dipersatukan oleh buku, cerita, dan semangat belajar.

Setiap minggu, Mentari Sago ramai oleh kegiatan literasi. Ada anak-anak yang duduk di tikar sambil membaca, ada pula remaja yang menulis kisah tentang kampung halamannya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat.” Kalimat itu menjadi ruh di rumah baca ini.

Puncak aktivitasnya adalah Gebyar Literasi, sebuah festival yang melibatkan peserta dari berbagai kabupaten di Riau. Di sana, literasi tampil tidak hanya sebagai aktivitas membaca, tetapi juga sebagai perayaan budaya, kreativitas, dan kebersamaan.



Tidak jauh dari Mentari Sago, berdiri TBM Cahaya Rumah dan Rumah Baca Teratak Literasi yang menjadi ruang kreativitas anak-anak. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga belajar menulis puisi dan menampilkannya di depan teman-teman. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan adalah proses dialog, dan di Cahaya Rumah dan Teratak Literasi, dialog itu nyata dalam bentuk diskusi dan apresiasi karya.

Seorang anak yang pemalu bisa berubah menjadi berani karena belajar membaca puisi di TBM ini. Hal ini membuktikan bahwa literasi tidak sekadar menambah pengetahuan. Membaca juga membentuk karakter. Alvin Toffler pernah berkata, “Buta huruf abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali.” Cahaya Rumah mengajarkan hal itu setiap hari.

Dua rumah baca ini membuktikan bahwa Pekanbaru bukan hanya kota perdagangan. Ia juga kota literasi, tempat anak-anak tumbuh dengan buku, dan masyarakat belajar melihat dunia dari perspektif baru.


Jaringan Literasi: Forum TBM Riau dan Inovasi Komunitas

Di balik keberhasilan rumah baca, ada kekuatan besar bernama kolaborasi. Forum TBM Riau (FTBM Riau) menjadi wadah yang mempertemukan berbagai rumah baca di seluruh kabupaten. UNESCO menegaskan bahwa literasi adalah hak dasar manusia, dan FTBM Riau menjadikan hak itu lebih mudah diakses oleh masyarakat.

Forum ini tidak sekadar organisasi formal. Ia adalah keluarga besar yang saling menguatkan. Ketika satu TBM kekurangan buku, yang lain siap berbagi. Ketika ada ide baru, mereka bersama-sama mendiskusikannya. Semangat gotong royong terasa hidup di sini.

FTBM Riau memastikan bahwa literasi tidak berhenti di kota, tetapi menjangkau desa-desa terpencil. Dengan jaringan yang kuat, literasi bukan lagi agenda elitis, melainkan gerakan rakyat. John Dewey pernah menulis bahwa pendidikan harus membentuk individu kritis dan reflektif. Forum TBM menjadikan gagasan itu nyata.

Salah satu anggota aktif forum adalah Rumah Baca Tuah Negeri milik Komunitas Riau Sastra. Mereka dikenal dengan program jemput bola, membawa buku langsung ke masyarakat. Di pasar, di taman, bahkan di tepi sungai, buku hadir menemani masyarakat.

Program ini mengingatkan kita pada kalimat Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Dengan membawa buku ke ruang publik, Rumah Baca Tuah Negeri menegaskan bahwa perubahan bisa dimulai dari halaman-halaman sederhana.

Inovasi ini membuktikan bahwa literasi tidak harus kaku. Ia bisa fleksibel, mengikuti kebutuhan masyarakat. Ketika orang sulit datang ke rumah baca, maka rumah baca yang mendatangi mereka.

Kehadiran FTBM Riau dan komunitas seperti Rumah Baca Tuah Negeri menjadi bukti nyata bahwa literasi adalah kerja kolektif. Seperti filosofi Melayu, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” semangat kebersamaan itu menjadi pondasi utama gerakan literasi di Riau.


Rumah Baca di Kabupaten: Siak sebagai Contoh Inspiratif

Di luar Pekanbaru, Kabupaten Siak memiliki cerita literasi sendiri. Rumah Baca Siak hadir sebagai ruang belajar alternatif bagi anak-anak di kota sejarah itu. Mereka yang biasanya sibuk dengan gawai kini menemukan kesenangan baru dalam membaca.

Rumah baca ini juga menghidupkan kembali cerita rakyat Melayu. Anak-anak duduk melingkar mendengarkan kisah tentang “Putri Kaca Mayang” atau legenda “Putri Tujuh”. Albert Einstein pernah berkata, “Jika ingin anak-anak Anda cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika ingin mereka lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng.” Prinsip ini benar-benar dijalankan di Rumah Baca Siak.

Kegiatan literasi di sini tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperkuat identitas budaya. Generasi muda belajar mencintai warisan leluhur melalui cerita-cerita lokal. Dengan begitu, literasi menjadi sarana melestarikan budaya, bukan hanya keterampilan teknis membaca.

Rumah Baca Siak juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat. Ada diskusi buku, pelatihan menulis, hingga kegiatan keluarga. Menurut OECD, keluarga yang mendukung literasi anak sejak dini akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global.

Kehadiran rumah baca di Siak membuktikan bahwa literasi bisa tumbuh dari akar rumput. Tidak harus megah, yang penting adalah semangat kebersamaan. Relawan, guru, dan orang tua bergandengan tangan untuk menjaga nyala literasi.

Tantangan memang ada: keterbatasan koleksi, dana, dan fasilitas. Namun, seperti kata Francis Bacon, “Buku adalah teman yang selalu tersedia.” Di Riau, rumah baca memastikan bahwa teman itu tidak pernah hilang, meski zaman terus berubah.


Penutup

Rumah baca di Riau—dari Mentari Sago, TBM Cahaya Rumah rumah Baca Teratak Literasi, FTBM Riau, Rumah Baca Tuah Negeri, hingga Rumah Baca Siak—adalah kisah tentang harapan. Mereka membuktikan bahwa literasi bukan sekadar kata indah, melainkan gerakan nyata. Dengan kolaborasi, inovasi, dan budaya, rumah baca menjadi oase pengetahuan yang menyegarkan masyarakat.


Pekanbaru, 28 September 2025


Ini hasil pelatihan Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago tanggal 28 September  2025.