Welcome di Mentari Sago, kumpulan artikel pendidikan dan sastra baik berupa cerpen, puisi dan lain-lain

Mentari Sago

Menulislah, dengan itu engkau akan meninggalkan jejak jejak sejarah

Tulisan ketika dibaca dan membawa perubahan padanya, akan bermakna besar akhirnya.

Bermimpilah

Jangan biarkan ucapan orang lain menjatuhkan mimpimu. Bungkam mulut mereka dengan prestasimu.

Pendidikan itu mengubah perilaku

Jangan pernah berhenti belajar, karena hidup tak pernah berhenti mengajarkan.

You don’t have to be great to start. But you have to start to be great.

Kamu tidak harus hebat untuk memulai. Tapi Anda harus mulai menjadi hebat.

Manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi banyak orang

Kebaikan sekecil apapun akan mernakna besar bagi yang merasakannya.

Rabu, 29 Oktober 2025

Ketika Kata-Kata Kita Kehilangan Rumah




Pekanbaru- Suatu pagi di sebuah rumah di kota besar, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Mama, apa artinya cenning1?” Sang ibu hanya terdiam. Kata itu berasal dari bahasa ibu mereka, bahasa yang seharusnya hidup di rumah dan menempel dalam ingatan. Tapi kini kata itu asing, bahkan bagi sang ibu sendiri.



Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Bahasa daerah, yang mestinya menjadi akar identitas, satu per satu hilang dalam ingatan. Di sisi lain, bahasa Indonesia—bahasa yang dulu kita perjuangkan sebagai pemersatu bangsa—perlahan bergeser posisinya. Di ruang publik, bahasa asing dipuja, dipakai sebagai simbol status, seolah bahasa sendiri tak lagi cukup berharga.

Pertanyaannya: mau kita bawa ke mana bahasa-bahasa kita ini? Apakah kita akan membiarkan bahasa daerah mati di tanahnya sendiri, sementara bahasa Indonesia tergeser di rumahnya sendiri?


Bahasa Daerah yang Nyaris Hilang, Bahasa Indonesia yang Kehilangan Martabat.

Bahasa daerah bukan hanya bunyi. Ia adalah sejarah, ia adalah jejak yang mencatat perjalanan manusia dan budaya. Di dalamnya tersimpan doa-doa, petuah, bahkan cara kita memahami dunia.

Namun, hari ini banyak anak-anak tak lagi bisa berbahasa ibu. Mereka lebih fasih berbahasa asing, bahkan lebih percaya diri mengucapkan “sorry” ketimbang “maaf” atau “ampun.” UNESCO mencatat puluhan bahasa daerah di Indonesia kini berada di ambang kepunahan. Data dari Kemendikbudristek dalam rentang tahun 2011 hingga 2019 sendiri menunjukkan dari 718 bahasa daerah di Indonesia terdapat 25 terancam punah, 6 dinyatakan kritis, dan 11 bahasa daerah telah punah. Penyebab utama kepunahan disebabkan penutur aslinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan ke generasi berikutnya.

Apakah kita sadar, kehilangan bahasa berarti kehilangan bagian dari diri kita? Apakah kita rela jika suatu saat nanti nama-nama tempat, kisah rakyat, bahkan doa-doa lama hanya tinggal catatan di buku sejarah?

Sementara bahasa Indonesia harus kita pahami ianya lahir dari tekad, bukan sekadar kebetulan. Ia dipilih dengan sadar pada Sumpah Pemuda 1928: bahasa persatuan, bahasa kebangsaan, bahasa perjuangan. Lewat bahasa Indonesia, kita menegakkan suara bersama melawan penjajah.

Tapi hari ini di sekitar kita. Nama pusat perbelanjaan, sekolah, bahkan gedung-gedung pemerintahan lebih sering berbahasa asing. Di dunia akademik, menulis dalam bahasa Indonesia dianggap kurang bergengsi. Di media sosial, banyak yang lebih bangga menulis caption dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa nasional.

Bukankah ironis? Bahasa yang dulu kita junjung sebagai lambang persatuan kini dianggap tidak cukup layak di negerinya sendiri. Padahal, tanpa bahasa Indonesia, bagaimana kita bisa berdiri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain?


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tentu kita tidak bisa hanya meratap. Ada langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan.

Pertama, mulai dari rumah. Gunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Jangan malu, jangan merasa kuno. Justru dari rumah bahasa bisa hidup kembali. 

Kedua, sekolah harus ikut berperan. Anak-anak harus belajar bahasa daerah bukan hanya lewat buku teks, tapi juga melalui lagu, cerita rakyat, bahkan permainan tradisional. Biarkan bahasa ibu hadir dengan cara yang menyenangkan.

Ketiga, media dan teknologi. Mari hadirkan bahasa daerah dalam film, musik, buku, hingga konten digital. Biarkan anak muda mengenal dan menggunakannya di dunia yang mereka akrabi: media sosial.

Keempat, pemerintah tak boleh abai. Regulasi, dokumentasi, dan penghargaan harus diberikan bagi pegiat bahasa. Jangan biarkan bahasa hanya jadi jargon di peringatan Hari Sumpah Pemuda atau Bulan Bahasa.

Dan terakhir, banggakan bahasa Indonesia. Pakai bahasa ini dengan percaya diri di ruang publik, di media sosial, di panggung dunia.


Menjaga Bahasa, Menjaga Diri, Menjaga Bangsa


Sebagian orang khawatir, jika bahasa daerah diperkuat, bahasa Indonesia akan tersaingi. Itu kekeliruan besar. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia bukan musuh, melainkan saudara.

Bahasa daerah adalah akar. Bahasa Indonesia adalah batang. Bahasa asing adalah cabang yang memperluas jangkauan. Akar yang rapuh akan membuat batang mudah tumbang. Begitu pula bahasa Indonesia: tanpa fondasi bahasa daerah, ia akan kehilangan pijakan.

Dengan menjaga bahasa daerah, kita justru sedang memperkuat bahasa Indonesia. Dengan menegakkan kedaulatan bahasa Indonesia, kita sedang melindungi bahasa daerah agar tidak tergerus oleh bahasa asing.

Bahasa adalah rumah. Ia tempat kita berpulang, tempat kita mengenali diri. Tanpa bahasa daerah, kita hanyalah bangsa tanpa akar. Tanpa bahasa Indonesia, kita hanyalah kumpulan suku tanpa persatuan.

Revitalisasi bahasa daerah dan kedaulatan bahasa Indonesia bukan pilihan antara dua, melainkan kewajiban bersama. Kita bisa menguasai bahasa asing, tapi jangan sampai kehilangan bahasa sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan itu kembali pada kita: siapa yang akan menjaga bahasa-bahasa ini kalau bukan kita sendiri? Jika kita membiarkannya hilang, maka kita sedang menutup pintu rumah kita sendiri, membiarkan kunci identitas kita jatuh entah ke mana. Bahasa menunjukkan bangsa. Jika bahasa itu hilang, maka bangsa itu pun akan ikut hilang.



Catatan :

  1. Manis dalam Bahasa Bugis


ditulis oleh Daris Kandadestra, peserta Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago

Selasa, 28 Oktober 2025

AI tanpa Pondasi Literasi adalah Ilusi




- Beberapa tahun terakhir, AI (Artificial Intelligent) menjadi banyak perhatian. KBBI mendefinisikan AI sebagai ‘program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya. Dengan kecanggihan definisi tersebut, seolah AI bisa mengambil alih kemampuan manusia.






Di level pemerintahan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming bahkan mendorong sekolah-sekolah untuk membuat mata pelajaran AI masuk ke dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai SMA (Kompas.com, 03 Mei 2025). Ini setidaknya menggambarkan betapa AI bagi negara memiliki urgensi tinggi untuk dipelajari oleh semua orang. Tujuannya untuk membangun mimpi bagaimana AI membentuk SDM bangsa Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.


Pertanyaan kritis yang mungkin bisa diajukan dalam melihat masalah ini adalah, betulkah kita sudah siap sebagai bangsa untuk mengimplementasikan AI? Visi pemerintah mendorong agar AI dijadikan materi pelajaran sekolah adalah solusi yang sudah tepat?


Antara Kemajuan dan Realitas Kesiapan


Kemajuan AI adalah suatu yang tidak bisa dibendung, dan kita dituntut untuk bisa beradaptasi dengan teknologi ini. Sementara, di sisi lain ada realitas yang masih menjadi keprihatinan kita soal rendahnya kemampuan literasi di negara kita. 


Menjawab tantangan literasi selalu tidak mudah. Hal yang barangkali sudah sering kita dengar bahwa menurut data UNESCO, Indonesia berada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.


Sementara, ketika berbicara tentang AI, teknologi ini akan bekerja sesuai dengan perintah atau prompt pengguna. Oleh karenanya, kemampuan membuat prompt adalah hal yang paling krusial bagaimana seseorang akan mengoperasikan AI ini secara optimal atau hanya sekadar perintah tanpa isi.


Literasi adalah Pondasi



Kemampuan membuat prompt secara kreatif dan kritis hanya mutlak bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki basis literasi yang baik, terutama kebiasaan membaca dan menulis. Dua kegiatan tersebut adalah fondasi yang membangun kemampuan berpikir kritis, pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan komunikasi yang luas.


Membaca akan memperluas wawasan dan mengembangkan pemahaman. Sedangkan menulis akan membantu seseorang mengorganisir ide, mengkomunikasikan pemikiran secara efektif, dan memperkuat kemampuan berpikir analitis.


Oleh karena itu, pemerintah mustinya terus mendorong penguatan literasi sebagai budaya dan bagian dari keseharian kita. Keinginan pemerintah dalam mendorong pembelajaran AI tanpa diiringi dengan kemauan kuat memprioritaskan literasi, hanya akan menjadi ilusi dan angan-angan tanpa arti. 


Oleh: Izul Adib Peserta Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago

Kamis, 23 Oktober 2025

Membuncahkan “Duniaku”, Dengan Literasi Hati

 

Doried Eka Septayani











Dokumen pribadi



Bila akan dituliskan jatuh cinta namun, akan sakit kan bila ada kata jatuh. Kuawali dari bangun cinta literasi dari  masa studi di kampus hijau bagian paling utara pulau Andalas. Dengan  menjadi reporter pers kampus. Konon  Pers Kampus kebanggaan  ini dinobatkan bak seolah kita masuk dalam “ Kawah candradimuka”.  Dengan legenda cerita Gatot Kaca Sejak lahir dimasukkan pada kawah Candradimuka, kelak Ia menjadi manusia yang berotot kawat dan bertulang besi.

Bermula dari rutinitas reportase,  sampai observasi mendalam tentang masalah internal kampus, sampai hal kekinian Kota  bahkan provisi juga issu Nasional. Asyiknya, sengaja membangun cinta dengan kepenulisan ini, bukan hanya mensejajarkan posisiku sebagai jurnalis dengan narasumber. Namun membangun open mindset yang lebih luas dari sekedar status awal sebagai mahasiswa kala itu.

Seiring waktu dengan perubahan status dengan menjalani takdir menjadi istri. Kesukaan menulis terus terasah hingga, berkesempatan mengikuti workshop kepenulisan pada majalah Tarbawi saat  pernah tinggal di Ibu Kota Negara. Ketajaman literasi hati,  yang sangat menarik pada sajian majalah tersebut. Membawa inspirasi mendalam pada diri. 

Menggerakan gerak tuts pada keyboard, untuk menuliskan kisah-kisah hidup yang membangun jiwa dengan basic “true story”. Lahirlah beberapa puluhan buku, mulai antologi sampai menjelang buku solo dengan kemas literasi hati ini. Memberanikan diri mengemas acara perbincangan dengan trend digital “podcast” juga membawa tema yang  mengajak pemirsa  dengan tagline “bukan bincang biasa, sarat ilmu juga makna”. Dinamai Rumah Inspiration, acara live bincang tersebut.

Pena Pun semakin tajam, dengan merambah dunia siaran udara. Melalui kanal Radio Republik Indonesia, dengan rubrik “Obrolan Komunitas tema Literasi”  sudah menjadi agenda rutin untuk menuangkan serta menularkan gemar berliterasi dimulai dari peran kita sebagai apapun. Bisa dimulai dari memindahkan curhat lepas pada dinding media sosial. Kepenulisan yang lebih rapi dan terstruktur digawai dalam genggaman kita pada catatan. Hingga kelak bisa menjadi beberapa lembar menjadi karya antologi.

Semakin berwarnanya hidup, dengan bisa menghasilkan banyak karya. Serta terus berdedikasi dalam peran menulis, bukan hanya menjadi kastanya para akademisi atau saat menjadi mahasiswa saja. Namun hal ini, masih terus bersinergi sebagai apapun peran diriku, baik menjadi istri pegawai negeri (Darma Wanita), ibu empat anak, berwirausaha, trainer  serta menjadi anak Sulung. Adalah seperti aliran darah,  menuangkan hal-hal positif membangun jiwa dengan literasi hati. 

Yaitu, bukan hanya sekedar hal manis dan penuh tawa saja yang disajikan dalam paparan karya tulis. Karena hati yang hidup juga perlu “gerimis” untuk menumbuhkan tanaman dengan hujan lembut serta siraman air dari langit-Nya. berarti saat kisah sedih yang paling menyakitkan diri pun layak juga dituangkan. Bukan untuk mengeksploitasi kesedihan semata, namun lebih untuk terapi jiwa menyembuhkan diri dengan menuangkan karya.



Tulisan ini hasil pelatihan Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago 28 September 2025.


Rabu, 22 Oktober 2025

Oase Literasi di Riau Melalui Rumah Baca

 

Oleh: Wilda Srihastuty Handayani Piliang



Rumah Baca dan TBM Sebagai Pusat Literasi di Pekanbaru

Pekanbaru adalah kota yang sibuk dengan lalu lintas perdagangan dan hiruk pikuk teknologi. Namun, di sela-sela kesibukan itu, ada ruang sunyi yang penuh makna: rumah baca. Maria Montessori pernah mengatakan, “Buku adalah jendela dunia,” dan di Pekanbaru, rumah baca menjadi jendela yang selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat dunia lebih luas.

Rumah Baca Mentari Sago lahir dari semangat dua insan, Mulyati Umar dan Irsyad Thoriq Algifari. Mereka percaya bahwa literasi bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Di rumah baca ini, anak-anak dan orang dewasa dipersatukan oleh buku, cerita, dan semangat belajar.

Setiap minggu, Mentari Sago ramai oleh kegiatan literasi. Ada anak-anak yang duduk di tikar sambil membaca, ada pula remaja yang menulis kisah tentang kampung halamannya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat.” Kalimat itu menjadi ruh di rumah baca ini.

Puncak aktivitasnya adalah Gebyar Literasi, sebuah festival yang melibatkan peserta dari berbagai kabupaten di Riau. Di sana, literasi tampil tidak hanya sebagai aktivitas membaca, tetapi juga sebagai perayaan budaya, kreativitas, dan kebersamaan.



Tidak jauh dari Mentari Sago, berdiri TBM Cahaya Rumah dan Rumah Baca Teratak Literasi yang menjadi ruang kreativitas anak-anak. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga belajar menulis puisi dan menampilkannya di depan teman-teman. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan adalah proses dialog, dan di Cahaya Rumah dan Teratak Literasi, dialog itu nyata dalam bentuk diskusi dan apresiasi karya.

Seorang anak yang pemalu bisa berubah menjadi berani karena belajar membaca puisi di TBM ini. Hal ini membuktikan bahwa literasi tidak sekadar menambah pengetahuan. Membaca juga membentuk karakter. Alvin Toffler pernah berkata, “Buta huruf abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali.” Cahaya Rumah mengajarkan hal itu setiap hari.

Dua rumah baca ini membuktikan bahwa Pekanbaru bukan hanya kota perdagangan. Ia juga kota literasi, tempat anak-anak tumbuh dengan buku, dan masyarakat belajar melihat dunia dari perspektif baru.


Jaringan Literasi: Forum TBM Riau dan Inovasi Komunitas

Di balik keberhasilan rumah baca, ada kekuatan besar bernama kolaborasi. Forum TBM Riau (FTBM Riau) menjadi wadah yang mempertemukan berbagai rumah baca di seluruh kabupaten. UNESCO menegaskan bahwa literasi adalah hak dasar manusia, dan FTBM Riau menjadikan hak itu lebih mudah diakses oleh masyarakat.

Forum ini tidak sekadar organisasi formal. Ia adalah keluarga besar yang saling menguatkan. Ketika satu TBM kekurangan buku, yang lain siap berbagi. Ketika ada ide baru, mereka bersama-sama mendiskusikannya. Semangat gotong royong terasa hidup di sini.

FTBM Riau memastikan bahwa literasi tidak berhenti di kota, tetapi menjangkau desa-desa terpencil. Dengan jaringan yang kuat, literasi bukan lagi agenda elitis, melainkan gerakan rakyat. John Dewey pernah menulis bahwa pendidikan harus membentuk individu kritis dan reflektif. Forum TBM menjadikan gagasan itu nyata.

Salah satu anggota aktif forum adalah Rumah Baca Tuah Negeri milik Komunitas Riau Sastra. Mereka dikenal dengan program jemput bola, membawa buku langsung ke masyarakat. Di pasar, di taman, bahkan di tepi sungai, buku hadir menemani masyarakat.

Program ini mengingatkan kita pada kalimat Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Dengan membawa buku ke ruang publik, Rumah Baca Tuah Negeri menegaskan bahwa perubahan bisa dimulai dari halaman-halaman sederhana.

Inovasi ini membuktikan bahwa literasi tidak harus kaku. Ia bisa fleksibel, mengikuti kebutuhan masyarakat. Ketika orang sulit datang ke rumah baca, maka rumah baca yang mendatangi mereka.

Kehadiran FTBM Riau dan komunitas seperti Rumah Baca Tuah Negeri menjadi bukti nyata bahwa literasi adalah kerja kolektif. Seperti filosofi Melayu, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” semangat kebersamaan itu menjadi pondasi utama gerakan literasi di Riau.


Rumah Baca di Kabupaten: Siak sebagai Contoh Inspiratif

Di luar Pekanbaru, Kabupaten Siak memiliki cerita literasi sendiri. Rumah Baca Siak hadir sebagai ruang belajar alternatif bagi anak-anak di kota sejarah itu. Mereka yang biasanya sibuk dengan gawai kini menemukan kesenangan baru dalam membaca.

Rumah baca ini juga menghidupkan kembali cerita rakyat Melayu. Anak-anak duduk melingkar mendengarkan kisah tentang “Putri Kaca Mayang” atau legenda “Putri Tujuh”. Albert Einstein pernah berkata, “Jika ingin anak-anak Anda cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika ingin mereka lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng.” Prinsip ini benar-benar dijalankan di Rumah Baca Siak.

Kegiatan literasi di sini tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperkuat identitas budaya. Generasi muda belajar mencintai warisan leluhur melalui cerita-cerita lokal. Dengan begitu, literasi menjadi sarana melestarikan budaya, bukan hanya keterampilan teknis membaca.

Rumah Baca Siak juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat. Ada diskusi buku, pelatihan menulis, hingga kegiatan keluarga. Menurut OECD, keluarga yang mendukung literasi anak sejak dini akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global.

Kehadiran rumah baca di Siak membuktikan bahwa literasi bisa tumbuh dari akar rumput. Tidak harus megah, yang penting adalah semangat kebersamaan. Relawan, guru, dan orang tua bergandengan tangan untuk menjaga nyala literasi.

Tantangan memang ada: keterbatasan koleksi, dana, dan fasilitas. Namun, seperti kata Francis Bacon, “Buku adalah teman yang selalu tersedia.” Di Riau, rumah baca memastikan bahwa teman itu tidak pernah hilang, meski zaman terus berubah.


Penutup

Rumah baca di Riau—dari Mentari Sago, TBM Cahaya Rumah rumah Baca Teratak Literasi, FTBM Riau, Rumah Baca Tuah Negeri, hingga Rumah Baca Siak—adalah kisah tentang harapan. Mereka membuktikan bahwa literasi bukan sekadar kata indah, melainkan gerakan nyata. Dengan kolaborasi, inovasi, dan budaya, rumah baca menjadi oase pengetahuan yang menyegarkan masyarakat.


Pekanbaru, 28 September 2025


Ini hasil pelatihan Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago tanggal 28 September  2025.

Rabu, 15 Oktober 2025

Literasi Siswa Madrasah Pekanbaru Sudah Baik, Betulkah?



Rapor Pendidikan Kota Pekanbaru 2025


Rapor Pendidikan terbaru sudah dipublikasikan pada Agustus 2025. Ini merupakan hasil asesmen nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memotret input, proses dan output pembelajaran di seluruh satuan pendidikan. Asesmen nasional yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar ini nyatanya menjadi gambaran kualitas satuan pendidikan di seluruh Indonesia dengan beberapa indikator capaian, diantaranya kemampuan literasi siswa.





Madrasah sebagai salah satu satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama pun tak lepas dari keikutsertaannya dalam asesmen tersebut. Hal baiknya, Rapor Pendidikan 2025 Kota Pekanbaru menunjukkan capaian literasi siswa dengan kategori “Baik” pada jenjang MI, MTs, dan MA. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih dari 70,00% siswa madrasah sudah mencapai kompetensi minimum dalam memahami, menggunakan, merefleksi, dan mengevaluasi beragam jenis teks (teks informasional dan teks fiksi). Dengan demikian, kondisi literasi siswa madrasah di Kota Pekanbaru sudah menunjukkan kualitas yang baik.


Refleksi Pembelajaran Guru


Sayangnya, capaian baik ini tidak dibarengi dengan capaian pada indikator kualitas pembelajaran. Rapor Pendidikan menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran masih dalam kategori “Sedang”, di mana capaian ini memberikan arti bahwa suasana kelas mulai kondusif, dukungan psikologis serta pembentukan pemahaman dari guru meningkat. Bukankah seharusnya dengan capaian literasi siswa yang baik, kualitas pembelajaran pun mencapai kategori “Baik”? Ini tentunya menimbulkan pertanyaan dan asumsi. Capaian literasi siswa madrasah mungkin saja dipengaruhi oleh dukungan yang tidak hanya dari madrasah tapi dengan terbuka lebarnya akses dan fasilitas belajar di selain di satuan pendidikan.


Apa yang Bisa Dilakukan Guru?


Pun begitu, tidak semua siswa madrasah di Kota Pekanbaru memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses dan fasilitas belajar di luar sekolah. Terdapat siswa-siswa yang memang hanya belajar di sekolah. dengan demikian, guru sebagai berperan sangat penting dalam upaya peningkatan literasi siswa madrasah. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh guru?


  1. Kembangkan Diri

Hal pertama yang harus dilakukan oleh guru madrasah, tentunya adalah mengembangkan diri dengan belajar lebih intens terkait literasi dalam pembelajaran. Literasi tidak sekadar membaca dan menulis. Dikutip dari UNESCO, literasi merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung, menggunakan dicetak dan menulis bahan-bahan yang terkait dengan konteks yang berbeda-beda. Kegiatan pelatihan terkait pembelajaran literasi baik yang dilaksanakan secara daring, pembelajaran-mandiri melalui Learning Management System (LMS), maupun melalui komunitas-komunitas pembelajaran internal madrasah maupun antar madrasah perlu juga diikuti.


  1. Integrasikan Pembelajaran

Selanjutnya adalah bagaimana literasi juga diintegrasikan dalam pembelajaran di dalam kelas, tidak hanya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pada mata pelajaran Matematika pun guru juga harus mampu meningkatkan kemampuan literasi. Seperti membuat soal cerita yang sesuai dengan level tingkatan pemahaman siswa. Selain itu, dalam mata pelajaran agama, seperti Sejarah Kebudayaan Islam, guru juga bisa membuat proyek siswa mendongeng kisah tokoh-tokoh cendekiawan Islam. Dengan demikian, siswa pun harus membaca dan memahami sejarah tokoh-tokoh tersebut.


  1. Tingkatkan Kolaborasi

Selanjutnya, kemampuan kolaborasi guru dalam meningkatkan capaian literasi siswa juga perlu ditingkatkan guna mendorong munculnya kemitraan dan tanggung jawab bersama. Guru bisa berkolaborasi dengan orang tua siswa melalui penugasan kegiatan membaca dan memahami selama 10 menit di rumah. 


Tiga hal tersebut tentunya hanya sebagian kecil dari praktik-praktik yang bisa dilakukan oleh guru dalam upaya meningkatkan kualitas literasi siswa. Dengan mengoptimalkan beberapa praktik tersebut tentunya diharapkan capaian kualitas pembelajaran madrasah di Kota Pekanbaru bisa menjadi “Baik” di tahun 2026. Sejalan dengan capaian literasi siswanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa capaian literasi siswa madrasah benar-benar mencapai kategori “Baik”.



Fajar (Penulis adalah peserta Lokakarya Menulis Artikel yang diadakan oleh Rumah Baca Mentari Sago sebagai Komunitas Literasi tahun 2025)


Senin, 13 Oktober 2025

Rumah Baca Mentari Sago Hadiri Forum Komunikasi Konsultasi Publik (FKP) 2025 di Balai Bahasa Provinsi Riau

 

Pekanbaru, 13 Oktober 2025 — Rumah Baca Mentari Sago sebagai salah satu pengguna layanan publik turut menghadiri Forum Komunikasi Konsultasi Publik (FKP) 2025 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau pada Senin, 13 Oktober 2025. Kegiatan tersebut berlangsung di Aula Balai Bahasa Provinsi Riau mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB.

FKP dihadiri oleh berbagai unsur, antara lain pengguna layanan publik, pemangku kebijakan, akademisi, praktisi, organisasi profesi, masyarakat sipil, serta rekan media. Forum ini menjadi wadah penting untuk memperkuat komunikasi antara penyelenggara layanan publik dan para pengguna layanan.



Acara menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. Umi Kultsum, S.S., M.Hum. selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau, dan Bapak Bambang Pratama, S.H., M.H. selaku Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Riau.

Dalam pemaparannya, Dr. Umi Kultsum menyampaikan visi, misi, serta peran dan tugas Balai Bahasa Provinsi Riau. Ia juga menjelaskan berbagai layanan publik yang tersedia di Balai Bahasa, yang meliputi enam jenis layanan, yaitu:

1. Layanan Ahli Bahasa

2. Layanan Penerjemahan

3. Layanan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)

4. Layanan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI)

5. Layanan Perpustakaan

6. Layanan Magang

Sementara itu, Bapak Bambang Pratama dalam paparannya menjelaskan tentang peran, fungsi, dan tugas Ombudsman serta konsep birokrasi ideal menurut Max Weber. Ia menekankan bahwa birokrasi yang baik harus berorientasi pada pelayanan publik yang efektif, efisien, dan transparan. Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya transformasi digital dalam pelayanan publik. Menurutnya, layanan digital mampu menjangkau masyarakat lebih luas dan meningkatkan keterbukaan informasi. Beberapa contoh instansi yang telah menerapkan layanan digital dengan baik antara lain BPJS Kesehatan dan Direktorat Imigrasi (pembuatan paspor).

Bambang juga mengapresiasi Balai Bahasa Provinsi Riau yang telah menerapkan sistem informasi digital sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meskipun masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan.

Setelah sesi pemaparan, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi interaktif. Dua peserta, masing-masing dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Pekanbaru serta Universitas Riau, menyampaikan pertanyaan, ide, dan saran konstruktif terkait peningkatan kualitas layanan publik di lingkungan Balai Bahasa dan Ombudsman.

Sebagai penutup, acara FKP 2025 diakhiri dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Balai Bahasa Provinsi Riau dan para peserta forum.

Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah nyata dalam memperkuat sinergi antara lembaga penyedia layanan publik dan masyarakat pengguna layanan, serta mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Riau menuju arah yang lebih baik dan berkelanjutan.

 

Minggu, 12 Oktober 2025

Suara Puisi: Bait Kepenyairan Dalam Sosial Media





Bagaimana nasib puisi bagi masyarakat dan penyair itu sendiri pada jaman yang makin sulit dituruti? Masihkah puisi sebagai satu kata sakral, atau sekedar curhatan murah untuk mereka yang mengendap emosinya terlalu dalam? Apakah puisi masih tetap jadi tabu untuk masyarakat yang masih terkekang isu Kesetaraan Gender?


Era ini adalah hari dimana Puisi hadir dalam ambang antara ada dan tidak. Puisi bukan lagi suara indah dan kebaikan, puisi sekarang dipaksakan menjadi simbol anarkisme dan ketakutan di wajah masyarakat akibat kerusuhan dan petinggi negara tidak lagi berpihak pada rakyat. Imbas dari kerusuhan yang berakhir penyitaan buku-buku literasi yang dicap golongan kiri.


Media Sosial sebagai Rumah Akhir


Menanggapi hiruk pikuk seperti ini, para penyair berbondong-bondong beralih menyambung kepenyairannya di media sosial sebagai upaya semangat kebangkitan dan perjuangan bagi puisi itu sendiri. Bukan hanya itu, komunitas-komunitas sastra perlahan-lahan memanfaatkan “keajaiban” sosial media untuk tetap bebas berliterasi.


Salah satu bentuk perjuangan Puisi adalah rubrik “Suara Puisi”, sebuah upaya salah satu Komunitas Puisi yang berpusat di Pekanbaru, Community Pena Terbang, untuk terus menghidupkan makna puisi sebagai wujud kebaikan dan ekspresi untuk macam ragam usia. Sebuah perjuangan literasi di antara hiruk pikuk politik dan kesemrawutan publik untuk tetap terikat dengan Tuhan dan Bahasa Ibu.


Memanfaatkan media sosial Instagram, rubrik ini memberi ruang masyarakat menyuarakan tulisan dan ekspresi tersimpan ke publik, sebagai bukti eksistensi, serta kepedulian untuk memelihara literasi negeri. Baik pria atau wanita, anak sekolah hingga lansia sekalipun. Suara Puisi adalah satu dari jutaan upaya kecil pejuang literasi untuk tetap melestarikan Puisi dan mengeluarkannya dari Stigma buruk yang tengah dia alami.


Bersuara Bersama Puisi



Kini, rakyat indonesia menghadapi ketakutan akan suara yang dibungkam. Sedikit saja menyentil golongan atas, pulang hanya tinggal nama. Tapi perlawanan dan aspirasi bukan hanya dalam bentuk tindakan, puisi juga adalah jalan bagi perjuangan dan kekuatan.

gambar by gemini



Puisi adalah penyatu suara dalam kata-kata dan kiasan. Tanpa harus menyindir tegas, puisi bisa menjadi media tenang namun menohok untuk menyampaikan suara masyarakat yang harus terhalang ego dan butanya elit global.

Tapi sekarang, tinggal rakyat Indonesia, yang harus memilih apakah tetap bungkam dan menyaksikan rumah pertiwi mereka hancur perlahan-lahan dalam kerakusan, atau mulai melawan dan bersuara dalam rima serta sajak, demi keadilan khalayak ramai. (*)


ditulis Oleh: Eko Ragil Ar-Rahman

Peserta lokakarya Menulis Artikel dari Komunitas Rumah Baca Mentari Sago sebagai Fasilitasi Penerima Bantuan Pemerintah untuk Komunitas Literasi tahun 2025