Oleh: Wilda Srihastuty Handayani Piliang
Rumah Baca dan TBM Sebagai Pusat Literasi di Pekanbaru
Pekanbaru adalah kota yang sibuk dengan lalu lintas perdagangan dan hiruk pikuk teknologi. Namun, di sela-sela kesibukan itu, ada ruang sunyi yang penuh makna: rumah baca. Maria Montessori pernah mengatakan, “Buku adalah jendela dunia,” dan di Pekanbaru, rumah baca menjadi jendela yang selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat dunia lebih luas.
Rumah Baca Mentari Sago lahir dari semangat dua insan, Mulyati Umar dan Irsyad Thoriq Algifari. Mereka percaya bahwa literasi bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Di rumah baca ini, anak-anak dan orang dewasa dipersatukan oleh buku, cerita, dan semangat belajar.
Setiap minggu, Mentari Sago ramai oleh kegiatan literasi. Ada anak-anak yang duduk di tikar sambil membaca, ada pula remaja yang menulis kisah tentang kampung halamannya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat.” Kalimat itu menjadi ruh di rumah baca ini.
Puncak aktivitasnya adalah Gebyar Literasi, sebuah festival yang melibatkan peserta dari berbagai kabupaten di Riau. Di sana, literasi tampil tidak hanya sebagai aktivitas membaca, tetapi juga sebagai perayaan budaya, kreativitas, dan kebersamaan.
Tidak jauh dari Mentari Sago, berdiri TBM Cahaya Rumah dan Rumah Baca Teratak Literasi yang menjadi ruang kreativitas anak-anak. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga belajar menulis puisi dan menampilkannya di depan teman-teman. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan adalah proses dialog, dan di Cahaya Rumah dan Teratak Literasi, dialog itu nyata dalam bentuk diskusi dan apresiasi karya.
Seorang anak yang pemalu bisa berubah menjadi berani karena belajar membaca puisi di TBM ini. Hal ini membuktikan bahwa literasi tidak sekadar menambah pengetahuan. Membaca juga membentuk karakter. Alvin Toffler pernah berkata, “Buta huruf abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali.” Cahaya Rumah mengajarkan hal itu setiap hari.
Dua rumah baca ini membuktikan bahwa Pekanbaru bukan hanya kota perdagangan. Ia juga kota literasi, tempat anak-anak tumbuh dengan buku, dan masyarakat belajar melihat dunia dari perspektif baru.
Jaringan Literasi: Forum TBM Riau dan Inovasi Komunitas
Di balik keberhasilan rumah baca, ada kekuatan besar bernama kolaborasi. Forum TBM Riau (FTBM Riau) menjadi wadah yang mempertemukan berbagai rumah baca di seluruh kabupaten. UNESCO menegaskan bahwa literasi adalah hak dasar manusia, dan FTBM Riau menjadikan hak itu lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Forum ini tidak sekadar organisasi formal. Ia adalah keluarga besar yang saling menguatkan. Ketika satu TBM kekurangan buku, yang lain siap berbagi. Ketika ada ide baru, mereka bersama-sama mendiskusikannya. Semangat gotong royong terasa hidup di sini.
FTBM Riau memastikan bahwa literasi tidak berhenti di kota, tetapi menjangkau desa-desa terpencil. Dengan jaringan yang kuat, literasi bukan lagi agenda elitis, melainkan gerakan rakyat. John Dewey pernah menulis bahwa pendidikan harus membentuk individu kritis dan reflektif. Forum TBM menjadikan gagasan itu nyata.
Salah satu anggota aktif forum adalah Rumah Baca Tuah Negeri milik Komunitas Riau Sastra. Mereka dikenal dengan program jemput bola, membawa buku langsung ke masyarakat. Di pasar, di taman, bahkan di tepi sungai, buku hadir menemani masyarakat.
Program ini mengingatkan kita pada kalimat Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Dengan membawa buku ke ruang publik, Rumah Baca Tuah Negeri menegaskan bahwa perubahan bisa dimulai dari halaman-halaman sederhana.
Inovasi ini membuktikan bahwa literasi tidak harus kaku. Ia bisa fleksibel, mengikuti kebutuhan masyarakat. Ketika orang sulit datang ke rumah baca, maka rumah baca yang mendatangi mereka.
Kehadiran FTBM Riau dan komunitas seperti Rumah Baca Tuah Negeri menjadi bukti nyata bahwa literasi adalah kerja kolektif. Seperti filosofi Melayu, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” semangat kebersamaan itu menjadi pondasi utama gerakan literasi di Riau.
Rumah Baca di Kabupaten: Siak sebagai Contoh Inspiratif
Di luar Pekanbaru, Kabupaten Siak memiliki cerita literasi sendiri. Rumah Baca Siak hadir sebagai ruang belajar alternatif bagi anak-anak di kota sejarah itu. Mereka yang biasanya sibuk dengan gawai kini menemukan kesenangan baru dalam membaca.
Rumah baca ini juga menghidupkan kembali cerita rakyat Melayu. Anak-anak duduk melingkar mendengarkan kisah tentang “Putri Kaca Mayang” atau legenda “Putri Tujuh”. Albert Einstein pernah berkata, “Jika ingin anak-anak Anda cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika ingin mereka lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng.” Prinsip ini benar-benar dijalankan di Rumah Baca Siak.
Kegiatan literasi di sini tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperkuat identitas budaya. Generasi muda belajar mencintai warisan leluhur melalui cerita-cerita lokal. Dengan begitu, literasi menjadi sarana melestarikan budaya, bukan hanya keterampilan teknis membaca.
Rumah Baca Siak juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat. Ada diskusi buku, pelatihan menulis, hingga kegiatan keluarga. Menurut OECD, keluarga yang mendukung literasi anak sejak dini akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global.
Kehadiran rumah baca di Siak membuktikan bahwa literasi bisa tumbuh dari akar rumput. Tidak harus megah, yang penting adalah semangat kebersamaan. Relawan, guru, dan orang tua bergandengan tangan untuk menjaga nyala literasi.
Tantangan memang ada: keterbatasan koleksi, dana, dan fasilitas. Namun, seperti kata Francis Bacon, “Buku adalah teman yang selalu tersedia.” Di Riau, rumah baca memastikan bahwa teman itu tidak pernah hilang, meski zaman terus berubah.
Penutup
Rumah baca di Riau—dari Mentari Sago, TBM Cahaya Rumah rumah Baca Teratak Literasi, FTBM Riau, Rumah Baca Tuah Negeri, hingga Rumah Baca Siak—adalah kisah tentang harapan. Mereka membuktikan bahwa literasi bukan sekadar kata indah, melainkan gerakan nyata. Dengan kolaborasi, inovasi, dan budaya, rumah baca menjadi oase pengetahuan yang menyegarkan masyarakat.
Pekanbaru, 28 September 2025
Ini hasil pelatihan Lokakarya Menulis Artikel bersama Rumah Baca Mentari Sago tanggal 28 September 2025.